Seperti potongan film yang terus berputar, silih
berganti dari dari detik demi detik. Ingatanku kembali pada masa itu. Pertemuan
pertama di bawah cahaya rembulan yang tak pernah terlupa. Sketsa wajahnya masih
membekas sempurna diantara tumpukan kenangan masa lalu. Biarlah badai
menghambatku untuk kembali, namun ku yakin, kata hati tak pernah salah.
***
“Kau mau kemana?”
Aku mengerutkan kening setelah menoleh pada orang yang berdiri disampingku.
“Kau berbicara padaku?” aku kembali bertanya pada orang itu. Lelaki tersebut
menghela nafas, “memangnya ada siapa
lagi disampingmu? Dan omong-omong kau belum menjawab pertanyaanku tadi, kau mau
kemana?”ujarnya. Aku tersenyum tipis
menyadari tak ada siapapun selain aku dan lelaki bertubuh tingii ini di trotoar
tempat kami berpijak.
“Maaf, apa kau
mengenalku sebelumnya? Aku rasa, aku tak pernah mengenalmu,” sungguh,
sebenarnya aku benar-benar tak ingin menjawab pertanyaan orang ini mengingat
kami tak pernah berjumpa sebelumnya. Tapi orang ini terus mendesak agar aku
menjawabnya, dan dengan sialnya lagi entah mengapa tak ada satupun taksi atau
kendaraan umum lainnya yang lewat saati ini, yang ada hanyalah kendaraan
pribadi beroda empat yang berlalu-lalang.
“Hei, jangan melamun
malam-malam, tak baik tahu. Oke, kau mungkin bingung mengapa aku berbicara
seperti ini padamu, tapi biarkan aku menjelaskannya di halte seberang sana,”
ucapnya, lalu telunjuknya mengarah pada sebuah halte ynag tak jauh dari tempat
kami berdiri. Sebenarnya, lebih tak baik
lagi jka aku berbicara pada orang asing sepertimu, gerutuku dalam hati,
tapi berhubung dia terlihat seperti orang baik-baik, akupun memilih untuk
mengangguk dan mengikuti langkahnya, setidaknya disana cukup ramai, jadi aku
bisa berteriak kapanpun jika ia berbuat macam-macam, begitu pikirku.
Dia memulai
pembicaraannya usai kami mendapat tempat duduk nyaman di halte tersebut. “Jadi
begini, namaku Rayhan, dulu kau memanggilku Kak Ray. Aku ini teman kakak
perempuanmu, Dea. Apa kau ingat atau merasakan sesuatu?” aku menggeleng.
“Baiklah, tak apa. Kalau begitu, siapa namamu sekarang? Karena yang kutau
namamu adalah Wilda. Kau mungkin tak percaya padaku, tapi aku benar-benar tau
banyak hal tentangmu,” dia memberi jeda, “aku tau hobimu menulis, dan kau
sering mendapat penghargaan atas karya-karyamu itu, aku tau kau sangat takut
pada serangga, aku tau kau tidak bisa berenang, aku tau kau tidak bisa tidur
tanpa selimut, aku tau kau sangat menyukai yoghurt
strawberry buatan kakakmu, dan yang pasti, aku tau kau punya tanda lahir di
pergelangan kaki sebelah kananmu. Sebenarnya, masih banyak lagi kalau kau….”
Kak Ray bercerita dengan semangat, namun entah mengapa itu semakin membuat
dadaku sesak, aku merasa seperti bertemu dengan sosok pemberi harapan dalam
hidupku. Antara senang, terharu, dan sedih, berpikir sebentar lagi aku akan tau
hidupku yang sebenarnya. “Cukup! Ba..baiklah, aku percaya padamu, semua yang
kau katakan memang benar, walaupun aku tak ingat siapa itu Dea, tapi aku merasa
tak asing dengan nama itu. Tapi tolong beri aku jawaban, mengapa aku tinggal di
rumah keluarga itu? Pasti kau tau sesuatu tenang hal ini. Dan, mereka selalu
memanggilku dengan nama Tania,” aku memotong pembicaraan Kak Ray dengan nafas
terengah.
Kemudian, aku
melihat Kak Ray menunduk lesu sembari menyandarkan punggungnya pada kursi halte
agar lebih rileks, “jadi, mereka bahkan memanggilmu Tania?” Aku mengangguk.
“Tania, dia anak bungsu pasangan pemilik rumah dimana kau tinggal saat ini,
sekaligus, dia mantan kekasihku. Ia meninggal saat mengalami kecelakaan denganmu dan Dea saat berlibur
sekitar tiga bulan yang lalu, dan perlu kau tau, hanya kau yang selamat
meskipun harus mengalami amnesia dan terdapat banyak luka parah, terutama di
bagian wajah. Mungkin mereka menganggapmu sebagai pelepas rindu pada anaknya,
Tania. Maaf, tapi aku baru saja mengenalimu sebagai Wilda karena kupikir kau
hanyalah saudara Tania yang kebetulan sedang menginap di rumahnya, tapi setelah
beberapa kali aku memperhatikanmu, dari kebiasaan, gerak gerik tubuh, dan tanda
lahir di kakimu itu, aku tau benar kalau itu kau, yang telah mengalami operasi
plastic, mungkin?” ia memberi penjelasan.
“Aku..” aku
menghirup nafas perlahan lalu membuangnya, menahan airmata yang hendak
terjatuh, “sebenarnya malam ini aku ingin kabur dari rumah itu, aku benar-benar
tak tahan dipekerjakan layaknya pekerja rumah tangga 24 jam yang bahkan tak
diberi upah sepeserpun. Belakangan ini, karena mereka semua sedang berlibur,
aku berusaha mencari uang dengan bekerja sebagai penjaga toko di dekat taman
sana, dan terkadang mengambil pekerjaan part
time lain bila ada waktu senggang. Beberapa minggu lalu, aku pernah
tertangkap ketika ingin pergi dari rumah, lalu aku dikurung di kamar selama 3
hari tanpa diberi makan dan minum, untungnya ada seorang pembersih kebun di
rumah itu yang baik hati memberiku minum agar aku dapat bertahan hidup selama
itu,” tangisku pecah ketika tiba-tiba Kak Ray mengusap lembut punggungku yang
terbalut sweater tipis. “Lebih baik malam ini kau tidur di
rumahku, disana ada adik perempuanku juga yang mengenalmu, pasti dia sangat
senang bila kau datang. Besok aku akan mengantarmu ke rumah kakekmu,” Kak Ray
berusaha menenangkanku, dan aku tak bisa menolak tawarannya itu.
Hari itu aku
benar-benar beruntung dapat bertemu dengan lelaki sebaik Kak Ray, dia seperti
malaikat berwujud manusia yang berhasil membuat seluruh nadi dalam tubuhku
menghangat ketika mengingatnya. Aku
berharap ia mendapat gadis yang lebih baik dari Tania. Dan sambil berharap
orang itu adalah aku.