Sabtu, 15 Maret 2014

Kembalinya Aku

Diposting oleh Unknown di 11.01 0 komentar
Seperti potongan film yang terus berputar, silih berganti dari dari detik demi detik. Ingatanku kembali pada masa itu. Pertemuan pertama di bawah cahaya rembulan yang tak pernah terlupa. Sketsa wajahnya masih membekas sempurna diantara tumpukan kenangan masa lalu. Biarlah badai menghambatku untuk kembali, namun ku yakin, kata hati tak pernah salah.

***

“Kau mau kemana?” Aku mengerutkan kening setelah menoleh pada orang yang berdiri disampingku. “Kau berbicara padaku?” aku kembali bertanya pada orang itu. Lelaki tersebut menghela  nafas, “memangnya ada siapa lagi disampingmu? Dan omong-omong kau belum menjawab pertanyaanku tadi, kau mau kemana?”ujarnya. Aku  tersenyum tipis menyadari tak ada siapapun selain aku dan lelaki bertubuh tingii ini di trotoar tempat kami berpijak.

“Maaf, apa kau mengenalku sebelumnya? Aku rasa, aku tak pernah mengenalmu,” sungguh, sebenarnya aku benar-benar tak ingin menjawab pertanyaan orang ini mengingat kami tak pernah berjumpa sebelumnya. Tapi orang ini terus mendesak agar aku menjawabnya, dan dengan sialnya lagi entah mengapa tak ada satupun taksi atau kendaraan umum lainnya yang lewat saati ini, yang ada hanyalah kendaraan pribadi beroda empat yang berlalu-lalang.

“Hei, jangan melamun malam-malam, tak baik tahu. Oke, kau mungkin bingung mengapa aku berbicara seperti ini padamu, tapi biarkan aku menjelaskannya di halte seberang sana,” ucapnya, lalu telunjuknya mengarah pada sebuah halte ynag tak jauh dari tempat kami berdiri. Sebenarnya, lebih tak baik lagi jka aku berbicara pada orang asing sepertimu, gerutuku dalam hati, tapi berhubung dia terlihat seperti orang baik-baik, akupun memilih untuk mengangguk dan mengikuti langkahnya, setidaknya disana cukup ramai, jadi aku bisa berteriak kapanpun jika ia berbuat macam-macam, begitu pikirku.

Dia memulai pembicaraannya usai kami mendapat tempat duduk nyaman di halte tersebut. “Jadi begini, namaku Rayhan, dulu kau memanggilku Kak Ray. Aku ini teman kakak perempuanmu, Dea. Apa kau ingat atau merasakan sesuatu?” aku menggeleng. “Baiklah, tak apa. Kalau begitu, siapa namamu sekarang? Karena yang kutau namamu adalah Wilda. Kau mungkin tak percaya padaku, tapi aku benar-benar tau banyak hal tentangmu,” dia memberi jeda, “aku tau hobimu menulis, dan kau sering mendapat penghargaan atas karya-karyamu itu, aku tau kau sangat takut pada serangga, aku tau kau tidak bisa berenang, aku tau kau tidak bisa tidur tanpa selimut, aku tau kau sangat menyukai yoghurt strawberry buatan kakakmu, dan yang pasti, aku tau kau punya tanda lahir di pergelangan kaki sebelah kananmu. Sebenarnya, masih banyak lagi kalau kau….” Kak Ray bercerita dengan semangat, namun entah mengapa itu semakin membuat dadaku sesak, aku merasa seperti bertemu dengan sosok pemberi harapan dalam hidupku. Antara senang, terharu, dan sedih, berpikir sebentar lagi aku akan tau hidupku yang sebenarnya. “Cukup! Ba..baiklah, aku percaya padamu, semua yang kau katakan memang benar, walaupun aku tak ingat siapa itu Dea, tapi aku merasa tak asing dengan nama itu. Tapi tolong beri aku jawaban, mengapa aku tinggal di rumah keluarga itu? Pasti kau tau sesuatu tenang hal ini. Dan, mereka selalu memanggilku dengan nama Tania,” aku memotong pembicaraan Kak Ray dengan nafas terengah.

Kemudian, aku melihat Kak Ray menunduk lesu sembari menyandarkan punggungnya pada kursi halte agar lebih rileks, “jadi, mereka bahkan memanggilmu Tania?” Aku mengangguk. “Tania, dia anak bungsu pasangan pemilik rumah dimana kau tinggal saat ini, sekaligus, dia mantan kekasihku. Ia meninggal saat mengalami  kecelakaan denganmu dan Dea saat berlibur sekitar tiga bulan yang lalu, dan perlu kau tau, hanya kau yang selamat meskipun harus mengalami amnesia dan terdapat banyak luka parah, terutama di bagian wajah. Mungkin mereka menganggapmu sebagai pelepas rindu pada anaknya, Tania. Maaf, tapi aku baru saja mengenalimu sebagai Wilda karena kupikir kau hanyalah saudara Tania yang kebetulan sedang menginap di rumahnya, tapi setelah beberapa kali aku memperhatikanmu, dari kebiasaan, gerak gerik tubuh, dan tanda lahir di kakimu itu, aku tau benar kalau itu kau, yang telah mengalami operasi plastic, mungkin?” ia memberi penjelasan.

“Aku..” aku menghirup nafas perlahan lalu membuangnya, menahan airmata yang hendak terjatuh, “sebenarnya malam ini aku ingin kabur dari rumah itu, aku benar-benar tak tahan dipekerjakan layaknya pekerja rumah tangga 24 jam yang bahkan tak diberi upah sepeserpun. Belakangan ini, karena mereka semua sedang berlibur, aku berusaha mencari uang dengan bekerja sebagai penjaga toko di dekat taman sana, dan terkadang mengambil pekerjaan part time lain bila ada waktu senggang. Beberapa minggu lalu, aku pernah tertangkap ketika ingin pergi dari rumah, lalu aku dikurung di kamar selama 3 hari tanpa diberi makan dan minum, untungnya ada seorang pembersih kebun di rumah itu yang baik hati memberiku minum agar aku dapat bertahan hidup selama itu,” tangisku pecah ketika tiba-tiba Kak Ray mengusap lembut punggungku yang terbalut sweater  tipis. “Lebih baik malam ini kau tidur di rumahku, disana ada adik perempuanku juga yang mengenalmu, pasti dia sangat senang bila kau datang. Besok aku akan mengantarmu ke rumah kakekmu,” Kak Ray berusaha menenangkanku, dan aku tak bisa menolak tawarannya itu.


Hari itu aku benar-benar beruntung dapat bertemu dengan lelaki sebaik Kak Ray, dia seperti malaikat berwujud manusia yang berhasil membuat seluruh nadi dalam tubuhku menghangat ketika mengingatnya.  Aku berharap ia mendapat gadis yang lebih baik dari Tania. Dan sambil berharap orang itu adalah aku.
 

BLACK PEARL Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos